Pertanyaan:
Suami membeli sepeda baru, istri marah dan tidak suka. Suami transfer uang kepada orang tuanya lebih besar daripada ke mertuanya. Istri pun protes. Adapula suami yang meminta uang kepada istrinya dan menggunakan uang istrinya untuk keperluan rumah tangga. Sebenarnya bagaimana manajemen keuangan rumah tangga dalam Islam?
Jawaban:
Prinsip-prinsip manajemen keuangan rumah tangga dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pertama: Harta suami adalah milik suami, harta istri adalah milik istri
Tidak benar keyakinan bahwasanya harta suami dan istri otomatis menjadi milik bersama. Tidak benar juga keyakinan bahwa harta suami otomatis menjadi milik istri atau sebaliknya.
Buktinya, ada syariat mahar. Allah ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Dan datangkanlah sedekah untuk para istri sebagai nihlah (mahar)” (QS. An-Nisa: 4).
Juga sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:
أيُّما امرأةٍ نُكحتْ بغيرِ إذنَ وليّها ، فنكاحُها باطلٌ ، فنكاحُها باطلٌ ، فنكاحُها باطلٌ ، فإن دخلَ بها ، فلهَا المهْرُ بما استحلّ من فرجِها
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Jika si lelaki masuk kepada si wanita, maka si wanita berhak menerima mahar atas apa yang telah dihalalkan padanya, yaitu farji-nya” (HR. At-Tirmidzi no.1102, ia berkata: “hasan”).
Dan mahar itu menjadi harta milik istri setelah akad nikah. Andaikan seluruh harta suami otomatis menjadi milik istri atau milik bersama, maka syariat mahar tidak ada artinya. Syaikh Abdul Azhim Al-Badawi mengatakan: “Mahar adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami. Dan mahar adalah harta milik istri, tidak halal bagi siapa saja, baik ayahnya atau orang lain, untuk mengambil darinya sedikit pun. Kecuali jika si wanita merelakan jika mahar tersebut diambil” (Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, hal.282).
Bukti lainnya, jika suami meninggal maka harta warisannya tidak 100% menjadi milik istri. Namun istri hanya mendapatkan 1/8 atau 1/4. Ini menunjukkan harta suami tidak otomatis menjadi harta istri atau harta bersama. Allah ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan” (QS. An-Nisa’: 12).
Oleh karena itu, pada dasarnya suami berhak membelanjakan hartanya sesuai kehendaknya tanpa harus izin istrinya, dan tidak boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa hak.
Demikian juga sebaliknya, pada dasarnya istri berhak membelanjakan hartanya sesuai kehendaknya tanpa harus izin suaminya, dan tidak boleh suami mengambil harta istrinya tanpa hak.
Syaikh Khalid Al-Mushlih pernah ditanya, “Wahai Syaikh, istri saya seorang pegawai. Apakah saya memiliki bagian dari penghasilannya?”. Beliau menjawab:
“Pendapatan istri yang didapatkan dari pekerjaan yang ia lakukan itu adalah milik istri dan tidak ada hak bagi suaminya sedikit pun. Kecuali jika istri berbaik hati (untuk memberikan bagian dari hartanya) kepada suaminya. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Janganlah memakan harta orang lain di antara kalian secara batil” (QS. An-Nisa: 83).
Juga sebagaimana hadits dalam Shahih Muslim (1554), dari sahabat Jabir secara marfu’:
بم يأخذ أحدكم مال أخيه من غير حق
“Mengapa salah seorang di antara kalian mengambil harta saudaranya tanpa hak?”
Dalil-dalil mengenai hal ini sangatlah banyak. Adapun jika kalian berdua telah memiliki kesepakatan bahwa Anda akan membolehkan istri Anda untuk bekerja dan Anda menerima bagian tertentu, juga pihak wali dari istri ketika akad nikah tidak mempersyaratkan harus Anda yang bekerja, maka hukumnya boleh dan tidak tercela mengambil bagian dari harta istri” (Sumber: Fatawa Thariqul Islam, http://ar.islamway.net/fatwa/38797).
Namun sebagai bentuk pergaulan yang baik antara suami dan istri, hendaknya mereka saling mengabarkan, mendiskusikan dan memusyawarahkan penggunaan harta mereka masing-masing. Tapi ini tidak wajib. Allah ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوف
“Pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan ma’ruf”(QS. An-Nisa: 19).
Prinsip kedua: Harus ada kejelasan mana harta istri dan mana harta suami
Karena harta manusia dalam Islam itu terjaga dan tidak boleh diambil orang lain tanpa hak. Sebagaimana surat An-Nisa ayat 83 di atas. Nabi shallallahu’alahi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian” (HR. Al-Bukhari no.1739, Muslim no. 1679).
Harus jelas mana harta istri dan mana harta suami. Mana pemberian yang berupa hutang dari suami kepada istri dan mana yang berupa hibah. Mana yang berupa modal kerjasama antara mereka berdua, dan mana yang sedekah.
Semisal suami istri membeli kendaraan roda empat dengan patungan. Maka harus ada kejelasan apakah kendaraan ini adalah milik bersama dengan porsi sekian dan sekian persen, ataukah milik suami karena istri menghibahkan sebagian uangnya, ataukah milik istri karena suami menghibahkan sebagian uangnya.
Dengan adanya kejelasan mana harta suami dan mana harta istri, akan berkurang potensi konflik seputar masalah harta suami istri. Akan terhindar dari sengketa waris jika salah satunya meninggal. Juga akan terhindar dari konflik seputar harta gono-gini ketika terjadi perceraian.
Prinsip ketiga: Suami tidak harus memberitahukan berapa hartanya
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa harta suami adalah milik suami dan harta istri adalah milik istri. Selain itu suami pun tidak harus menyampaikan berapa hartanya kepada istri. Ia juga tidak harus menyampaikan berapa gajinya dan berapa uang yang didapatnya dari pekerjaannya. Bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk tidak perlu menyampaikan kepada istri perihal tersebut.
Al-Khathab bin Ma’la rahimahullah mengatakan:
ولا تعلم أهلك وولدك فضلا عن غيرهم عدد مالك فإنهم إن رأوه قليلا هنت عليهم وإن كان كثيرا لم تبلغ به رضاهم، وأخفهم في غير عنف ولن لهم في غير ضعف
“Jangan engkau beritahu berapa jumlah hartamu kepada istrimu dan anak-anakmu, apalagi kepada orang lain. Karena jika hartamu sedikit, mereka akan merendahkanmu. Jika hartamu banyak, mereka akan banyak meminta dan engkau tidak bisa menggapai ridha mereka. Buatlah mereka hormat kepadamu, tanpa perlu bersikap kasar. Dan lembutlah kepada mereka tanpa menampakkan kelemahan” (Raudhatul Uqala, 143/70).
Prinsip keempat: Suami wajib memberi nafkah kepada istrinya
Harta suami yang menjadi hak istri adalah sekadar nafkah yang wajib, berupa sandang, pangan, dan papan yang pokok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرءِ إثمًا أن يضيعَ من يقوتُ
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud no.1692, Ibnu Hibban no.4240. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Definisi nafkah, disebutkan dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337):
وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها
“Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”.
Maka yang wajib diberikan suami kepada istrinya adalah makanan pokok, pakaian, mencukupi dan menyediakan tempat tinggal, sesuai dengan kemampuan suami.
Lebih dari itu, hukumnya sunnah bagi suami untuk memberikan pemberian kepada istrinya, tidak sampai wajib. Seperti uang jajan, rekreasi, pakaian yang di luar kebutuhan pokok, aksesoris, kendaraan, dan semisalnya ini tidak wajib diberikan suami kepada istri dan keluarganya.
Prinsip kelima: Istri boleh mengelola harta suaminya
Allah ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Maka istri yang baik adalah wanita yang shalihah, taat kepada suaminya dan menjaga harta suaminya ketika suaminya tidak ada, dalam penjagaan Allah” (QS. An-Nisa: 34).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan:
قال السدي وغيره : أي تحفظ زوجها في غيبته في نفسها وماله
“As-Suddi dan yang lainnya menjelaskan: maksudnya: ia (sang istri) menjaga dirinya sendiri ketika suaminya tidak ada dan menjaga harta suaminya”.
Maka istri boleh mengelola dan menjaga harta suaminya. Agar hartanya tidak hilang, tidak tersia-siakan, pengeluarannya teratur, tidak dihambur-hamburkan, dan seterusnya. Namun tidak berarti ia menguasai harta suaminya. Pemiliknya tetaplah suami dan ia yang punya hak penuh atas hartanya, sedangkan istri hanya membantu mengelolanya saja.
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41283-prinsip-prinsip-manajemen-uang-rumah-tangga.html